Selasa, 28 Februari 2012

INSPIRASI...



Lahir dan tumbuh di desa pinggiran kota kecil yang dikelilingi beberapa Pabrik. Membuatku terbiasa dengan kehidupan kerja buruh pabrik. Bagi sebagian besar buruh pabrik di tempatku, pendidikan diperlukan dalam rangka memenuhi persyaratan administrasi masuk kerja di pabrik, biasanya minimal pendidikan tingkat SMP atau SMA. Tidak heran jika kemudian perspektif pendidikan seperti ini lah yang kemudian mewarnai kehidupan pendidikan anak-anak di kampung saya.
Ketika saya lulus SMA, saya berniat melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi. Keinginan ini mendapat dukungan dari orang tua saya, yang kebetulan adalah petani, bukan buruh pabrik. Keinginan ini ternyata secara sosial mendapatkan tanggapan yang kurang positif dari lingkungan dengan perspektif pendidikan yang saya ceritakan di atas. Ada yang bilang, “Ngapain sih kuliah....?”. Saya hanya mendiamkan saja. Karena saya berfikir, tidak ada gunanya juga saya perdebatkan. Yang terlintas di pikiran saya saat itu adalah, saya ingin menjadi “lebih” dari orang-orang di sekitar saya, saya ingin melakukan “lebih” dari yang dilakukan orang-orang di sekitar saya, dan saya ingin melakukan apa yang menurut saya “layak” untuk diperjuangkan.
Ketika lulus S1, ada kesempatan untuk melanjutkan S2 dengan jalur beasiswa. Sekali lagi, yang terlintas dalam pikiran saya adalah “WHY NOT....????”. ini cukup layak untuk dicoba. Kalau tidak diterima itu BIASA, kalau diterima itu LUAR BIASA. Tidak ada ruginya. Saya berusaha melakukan yang terbaik yang mampu saya lakukan untuk mendapatkan beasiswa itu. Saya berdoa, semoga saya lolos. Dan saya yakin Allah memberikan yang terbaik buat saya, apakah hasilnya lolos atau tidak, saya yakin itu yang terbaik. Ternyata, saya lolos, walaupun dengan skenario yang agak berbeda, tapi saya yakin, itu adalah skenario yang memang ditetapkan untuk saya.
Sekali lagi, ada cibiran yang datang dari orang-orang di kampung. Salah seorang dari mereka mengatakan “Ngapain sih sekolah tinggi-tinggi, saya aja Cuma lulusan SMP bisa jadi kayak gini...”. Memang saya akui, dia cukup sukses bekerja di salah satu pabrik Jepang yang ada di dekat Desa saya. Posisi yang strategis, dan juga gaji yang lebih dari cukup. Sekali lagi, saya juga cuma diam. Ada sedikit rasa jengkel, tapi saya tepis jauh-jauh. Buat apa saya jengkel. Dia berbicara tentang fakta yang tidak bisa saya pungkiri kebenarannya. Tapi saya juga yakin, bahwa pilihan saya adalah benar dan tepat untuk saya. The show must go on. Itu saja yang ada di benak saya.
Setelah lulus S2, saya bekerja sebagai widyaiswara/trainer di salah satu instansi pemerintah pusat. Ini memungkinkan saya untuk travelling ke berbagai pelosok Indonesia. Saya ditugaskan di ujung timur Indonesia. Tapi, occasionally, saya sering juga bertugas ke berbagai wilayah di Indonesi a bagian tengah dan barat. Saat tugas ke wilayah barat ini, saya berusaha selalu menyempatkan mampir ke rumah orang tua. Pulang kampung.
Satu hal yang membuat saya agak terharu adalah, ketika saya terakhir pulang kampung, ada seorang ibu yang bertanya, “Dulu sekolahnya apa sih...?”. Bingung juga saya menjawabnya. Kalau saya jawab sekolah di jurusan kesejahteraan sosial, rasanya... itu jurusan yang tidak familiar, bahkan beberapa lingkungan pendidikan pun itu kadang tidak familiar. Akhirnya saya balik bertanya, “Memangnya kenapa bu...?”. Dia menjawab, “Enggak papa.. Cuma anak saya yang kelas 3 SMA bilang, katanya dia pengen jadi seperti mbak fitri....”. Gubraaaaakkkkkkkk.. Saya kaget. Saya nggak menyangka ada anak yang ingin menjadi seperti saya. Masalahnya bukan menjadi “seperti saya” nya itu. Tapi, menjadi “seperti saya” itu berimplikasi logis terhadap jalan yang saya tempuh untuk menjadi seperti sekarang ini, pendidikan. Jika mau seperti saya, artinya harus sekolah lagi. Tidak cukup hanya di tingkat SMA.
Terus terang, saya tersanjung, bahagia. Bukan karena ada pikiran “wahhhhh.. saya hebat”. Tentu bukan itu. Tapi, karena saya bisa menginspirasi generasi muda di lingkungan saya untuk berjuang menggapai cita-cita melalui pendidikan. Saya senang anak muda di lingkungan saya memiliki perspektif hidup yang bukan hanya sekolah sampai SMA, kemudian menjadi buruh pabrik. Bagi saya, apapun alasan awal orang sekolah, itu tidak masalah. Yang penting, dia menjalani proses itu. Dan dalam menjalani proses itu, saya yakin mind set awal yang mungkin kurang tepat, bisa berubah menjadi lebih tepat dan arif.
Satu semangat yang ingin saya sampaikan dalam cerita ini adalah, jika kita yakin kita melakukan yang benar, tidak usah ragu untuk memperjuangkannya, yakinlah bahwa akan ada waktunya dimana keyakinan kita itu terwujud dalam hasil yang terkadang kita tidak menyangka akan seperti itu. Jauh lebih baik dari yang kita harapkan. Bukan hanya untuk diri kita sendiri, tapi juga untuk orang lain. So, MARI KITA LAKUKAN YANG TERBAIK YANG BISA KITA LAKUKAN, DAN BIARKAN TUHAN MELAKUKAN APA YANG TIDAK MAMPU KITA LAKUKAN

2 komentar:

  1. man jadda wajada.. mampir2 ke blog saya ya.. http://sehansnza.blogspot.com/2012/03/bersungguh-sungguh-semua-akan-manis-dan.html

    BalasHapus
  2. makasih mas..
    saya sudah mampir...
    semoga tetep bisa berkreasi dan memberikan yang terbaik buat keluarga dan negara..

    BalasHapus