Senin, 16 Mei 2011

PAPUA: KONFLIK SUKU DAN PEMBANGUNAN MODAL SOSIAL MELALUI PENDIDIKAN DAN PELATIHAN

Siti Rohmanatin Fitriani
Abstract
Diversity is one of the main characteristics of Indonesia. Diversity may lead to conflicts, if it is not managed well. For many years, Indonesia does not free from conflicts. Research in five areas of conflict reveals that generally conflicts are coloured by the problem of identity, either race or religion. One of conflict forms is tribe war. In Papua, tribe war still occurs until now. It is because it has been rooted in the tradition of most tribes in Papua, especially those who lives in center mountain range of Papua. War tribe explains that the cohesivity or sense of togetherness of the group is very strong. This sense actually can be used as the basic of social capital to reach peace and prosperity. Managing and leading this sense is dealing with human attitude building. The center of education and training of social work (BBPPKS) can participate by setting up their trainings in certain way to make participants have strong social capital which is embedded in their attitudes that support the emergence of peace in pluralistic setting.

Keywords: conflict, race, social capital, training, human resource

A. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan Negara yang kaya akan keragaman, baik itu keragaman suku, agama, budaya, adat istiadat dan lain sebagainya. Kekayaan ini memiliki potensi untuk membentuk energi positif, sekaligus juga negatif. Dari sisi positif, keragaman ini bisa menjadi potensi wisata yang memiliki daya tarik yang luar biasa. Hidup dalam keragaman ini juga bisa mendorong munculnya budaya saling menghormati, saling melengkapi dsb. Namun, hidup dalam keragaman juga memiliki potensi konflik.
Indonesia seakan tidak pernah sepi dari konflik, termasuk konflik suku/etnis. Media mencatat berbagai konflik suku/etnis yang terjadi di berbagai kawasan di Indonesia, di antaranya adalah konflik di Kalimantan, ambon, Sulawesi, juga Papua.
Dalam berbagai literatur, dapat ditemukan bermacam-macam definisi konflik. Jika dilihat dari akar katanya, Konflik atau conflictus berasal dari bahasa Latin yang berarti pertentangan (Pringondigdo,1973). Artinya, konflik merupakan perwujudan dari pertentangan antara dua pihak atau lebih. Secara sosiologis, konflik dapat diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya (Wikipedia.org).
Konflik merupakan gejala-gejala sosial yang ada dalam setiap masyarakat. Selama masyarakat itu ada, konflik akan selalu ada. Konflik ini dapat dirasakan, diketahui, diekspresikan melalui perilaku-perilaku komunikasi (Folger & Poole: 1984).
Dari berbagai definisi yang berhubungan dengan konflik di atas, dapat disimpulkan bahwa, konflik merupakan sebuah proses yang terjadi akibat adanya hubungan, baik antar individu maupun kelompok. Karena itulah, konflik tidak akan pernah hilang. Konflik ini diekspresikan dalam berbagai bentuk, bisa berbentuk konflik tersembunyi (pseudo conflict), konflik semu (silent conflict), maupun konflik nyata (actual conflict).

B. KONFLIK: SEBAB DAN DAMPAKNYA
Simon Fisher (dkk) melakukan identifikasi sebab-sebab terjadinya konflik dalam 6 (enam) ranah besar; pertama, teori hubungan masyarakat. Teori ini menjelaskan bahwa konflik terjadi karena polarisasi yang senantiasa terjadi dalam masyarakat yang kemudian menimbulkan ketidakpercayaan, permusuhan. Kedua, teori negosiasi prinsip, menganggap bahwa konflik disebabkan oleh posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh fihak-fihak yang mengalami konflik. Ketiga, teori kebutuhan massa, berasumsi bahwa konflik yang berakar sangat dalam disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia, baik fisik, mental atau sosial yang tidak terpenuhi atau dihalangi. Issue yang mengemuka adalah keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi dan otonomi. Keempat, teori identitas berasumsi bahwa konflik disebabkan karena identitas yang terancam oleh fihak lain. Kelima, teori kesalahfahaman budaya, berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh ketidakcocokan dalam cara berkomunikasi di antara berbagai budaya yang berbeda. Dan yang keenam adalah teori transformasi konflik yang berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh masalah-masalah ketidakselarasan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah sosial, budaya dan otonomi (Surwandono,2010)
Di Indonesia, Penelitian di lima wilayah konflik yang dilakukan oleh Rusmin Tumanggor, Jaenal Aripin, dan Imam Soeyoeti menunjukkan bahwa pada umumnya, konflik yang terjadi sangat kuat dipengaruhi oleh isu identitas (etnis dan agama) dan isu distribusi. Dari 382 orang responden, sebesar 26,4% responden di lima wilayah konflik menyatakan bahwa penyebab konflik dan keretakan hubungan antar warga adalah karena perbuatan atau sikap kelompok identitas (etnis/agama) tertentu yang menyinggung harga diri dan rasa keadilan kelompok identitas (etnis/agama) lainnya. Penghinaan atas keyakinan (agama) dan suku tertentu juga menjadi penyebab konflik yang cukup dominan, terlihat dari jawaban responden sebesar 19,4 % dan 16,5%. Sementara itu, penguasaan lapangan pekerjaan juga turut menjadi faktor utama yang menyebabkan terjadinya konflik, sebesar 15,6%.
Dalam kenyataan di lapangan, faktor-faktor identitas yang meliputi etnis dan agama ini bercampur dengan konflik atas pendistribusian sumber daya seperti, wilayah, kekuasaan ekonomi, prospek lapangan kerja dan seterusnya. Dalam kasus-kasus di mana identitas dan isu distributif dibaurkan, menciptakan peluang kesempatan bagi para oportunis untuk semakin mempertinggi eskalasi konflik. (Rusmini, 2010)
Realita konflik di lapangan adalah munculnya kerusuhan, saling hasut-menghasut, caci-maki, menyiksa, mencederai, memperkosa, membunuh secara sadis atau penuh pertentangan batin, membakar, merampas hak milik orang lain, mengusir, penghilangan dokumen-dokumen penting dll.
Penilitian yang dilakukan Rusmini dkk juga menunjukkan bahwa dampak konflik adalah jatuhnya korban jiwa dalam jumlah besar (sebagaimana dinyatakan oleh 15%responden), hilangnya pekerjaan, hilangnya kerukunan yang berubah menjadi perkelahian karena perbedaan identitas, bahkan konflik juga mengakibatkan putusnya hubungan kekeluargaan diantara mereka yang secara kebetulan berbeda identitas etnis atau agama. Kerugian materiil, berupa kerusakan sarana ibadah dan sarana pendidikan masing-masing diutarakan oleh 9,8% dan 7,8% resoponden.
Dampak terbesar dari konflik yang membutuhkan perhatian dan penanganan serius, justru adalah pada aspek psiko-sosial masyarakat. Yaitu sebesar 16,7% responden menyatakan konflik telah membuat mereka selalu dihinggapi rasa takut dan merasa selalu tidak aman. Akibatnya, di antara kelompok-kelompok masyarakat timbul rasa saling curiga dan mengikis rasa kepercayaan di antara warga masyarakat (distrust).
Dilihat dari proses terjadinya konflik, ada beberapa tahapan perkembangan terjadinya Konflik:
1. Konflik masih tersembunyi (laten). Potensi-potensi konflik mulai dirasakan, tetapi belum terlihat.
2. Konflik yang mendahului (antecedent condition). Tahap perubahan dari apa yang dirasakan secara tersembunyi mulai tampak, seperti munculnya tujuan dan nilai yang berbeda.
3. Konflik yang dapat diamati dan dirasakan (perceived and felt conflicts). Muncul sebagai akibat antecedent condition yang tidak terselesaikan.
4. Konflik terlihat secara terwujud dalam perilaku (manifest behavior). Upaya untuk mengantisipasi timbulnya konflik dan sebab serta akibat yang ditimbulkannya; individu, kelompok atau organisasi cenderung melakukan berbagai mekanisme pertahanan diri melalui perilaku yang tampak
5. Penyelesaian konflik (Conflict resolution). Pada tahap ini, ada dua tindakan yang bisa diambil terhadap suatu konflik, yaitu penyelesaian konflik dengan berbagai strategi atau sebaliknya malah ditekan sehingga tidak muncul ke permukaan (Jurnal SDM, 2010)


C. PAPUA DAN KONFLIK ANTAR SUKU
Papua merupakan salah satu daerah rawan konflik yang ada di kawasan timur Indonesia. Konflik yang terjadi di Papua beraneka ragam, salah satunya adalah konflik antar suku. Konflik antar suku terjadi di beberapa tempat di wilayah papua, di antaranya adalah konflik antar suku di mimika antara suku Damal yang bergabung dengan suku Dani berhadapan dengan suku Amungme pada tahun 2007 (Antaranews.com), juga perang suku di Kwamki Lama, Mimika. Di Tahun 2010 ini konflik antar suku ini juga masih terjadi. Salah satunya adalah konflik yang terjadi di Kampung Muara Distrik Karubaga, Kabupaten Tolikara, (lintasberita.com). Bahkan di kota Jayapura yang merupakan pusat pemerintahan Provinsi Papua juga terjadi konflik antara suku Wamena dan Yoka ppada bulan November 2010.
Jika kita menilik sejarah konflik antar suku maupun subsuku, kita akan mendapati, bahwa di Papua, perang sebagai salah satu bentuk konflik yang tampak (actual conflict), memang sudah menjadi bagian hidup dari suku-suku di papua, khusunya suku-suku di sepanjang pengunungan tengah
Dalam bukunya Tradisi Perang Suku Orang Dani (Semangat Perang Semangat Pengembangan Ekonomi Balim), Jemius Assolokobal menyatakan bahwa perang sebagai spirit merupakan tradisi suku-suku bangsa sepanjang Kaki pegunungan tengah yang meliputi Kabupaten Tolikara, Puncak Jaya, Yahukimo, Pegunungan Bintang, Kabupaten Paniai serta suku-suku tradisi perang seperti di Timika (Jemius, 2007: xv-xvi). Bisa dikatakan, perang terbuka merupakan salah satu bentuk budaya suku-suku di Papua.
Lebih lanjut Jemius mengatakan bahwa tradisi perang ini tidak sepenuhnya memiliki sisi negatif, tapi ada juga nilai positifnya, karena perang bagi suku-suku ini merupakan sebuah tuntutan hidup. Berperang dengan suku lain, maupun berperang melawan keganasan alam untuk bertahan hidup (Jemius, 2007). Nilai negatifnya antara lain adalah jatuhnya korban, juga potensi munculnya dendam dan kebencian. Nilai positifnya adalah spirit untuk mempertahankan kehidupan dan prinsip sportifitas (fair play) dalam proses tradisi perang tersebut.
Edi Suharto, mengutip Parsons, Jorgensen dan Hernandez, menyatakan bahwa konflik bisa menjadi faktor pendukung dalam upaya kedamaian sosial karena konflik dapat meningkatkan kohesifitas kelompok, memunculkan isu-isu dan harapan-harapan, memperjelas batas dan norma kelompok, serta mempertegas tujuan yang hendak dicapai. Di sisi lain, konflik juga bisa menjadi faktor perusak kedamaian sosial jika bersifat destruktif, meluas, dan melampaui batas toleransi dan kapasitas pihak-pihak yang terlibat (edi Suharto, 2004)
Tanpa berpretensi untuk menghakimi bahwa perang itu sebagai suatu bentuk konflik terbuka yang negatif atau positif, ada beberapa hal yang bisa disimpulkan:
1. Perang antar suku maupun sub suku merupakan salah satu bentuk konflik terbuka yang terjadi di wilayah Papua
2. Perang ini memiliki akar tradisi, dengan berbagai perubahan alasan perang sesuai dengan perubahan zaman dan kebutuhan
3. Perang sebagai salah satu bentuk konflik, memiliki energy positif maupun negatif, tergantung bagaimana energi itu dikelola dan digunakan.

D. MODAL SOSIAL MASYARAKAT SUKU DI PAPUA
Uraian di atas bukan hendak menyatakan bahwa konflik yang terjadi secara spesifik adalah karena perbedaan etnis, tetapi ada beberapa sebab seperti ketidakadilan sosial, diskriminasi, penghinaan terhadap identitas suku, yang menyebabkan “perang” suku ini terjadi. Data menunjukkan bahwa beberapa perang suku in terjadi karena persoalan individu anggota suku yang meluas menjadi persoalan suku secara kolektif. Hal ini menunjukkan bahwa solidaritas anggota suku cukup tinggi. Dilihat dari perspektif sosial capital, bisa dikatakan bahwa tingkat kohesifitas suku ini cukup bagus. Inilah yang bisa digunakan sebagai modal dalam upaya mewujudkan kedamaian dan kesejahteraan sosial di papua.
Modal kohesifitas ini sifatnya masih bounded (sifat persatuan, kekompakan dan solidaritas hanya terbatas pada internal komunitas tertentu). Bounded cohesifity ini yang harus dikembangkan menjadi kohesifitas yang melampaui batas-batas internal kelompok. Inilah yang disebut Francis Fukuyama dengan radius of trust, yaitu sejauh mana rentang hubungan saling percaya dan solidaritas yang dimiliki (Robby Djohan: 2007). Semakin luas batas-batas hubungan saling percaya dan solidaritas tersebut, semakin luas juga radius of trust nya
Modal sosial disini tidak hanya diartikan sebagai kohesifitas kelompok, tapi lebih dari itu adalah sesuatu yang mampu membuat masyarakat bersekutu dan bersatu untuk mencapai tujuan bersama. Dalam persekutuan tersebut ada nilai-nilai dan norma-notma yang tumbuh dan dipatuhi serta memiliki radius hubungan dan kepercayaan yang melampaui batas-batas suku, kelompok, agama dll.

E. MEMBANGUN MODAL SOSIAL DALAM UPAYA PENANGANAN KONFLIK DI PAPUA
Menurut Eva Cox, social capital bisa diartikan sebagai suatu rangkaian proses interaksi antar manusia yang ditopang oleh jaringan, norma, dan kepercayaan sosial yang memungkinkan koordinasi dan kerjasama untuk kepentingan dan kebaikan bersama (Robby Djohan, 2008). Social capital bisa juga diartikan sebagai norma-norma yang membuat orang bertindak secara kolektif. Inti dari pengertian modal sosial adalah kemampuannya untuk memanfaatkan investasi physical capital dan human capital (Soeharto, 2007). Dapat dikatakan bahwa tanpa modal sosial, investasi yang berupa physical capital dan human capital ini tidak akan berarti. Sebaliknya, kedua bentuk investasi ini justru bisa menjadi sebab kehancuran. Dari definisi-definisi ini dapat dikatakan bahwa social capital bukanlah sesuatu yang statis. Social capital bisa diartikan sebagai proses (kegiatan), juga sebagai produk dari sebuah proses. Karena itulah, untuk mengetahui lebih jauh mengenai bentuk social capital yang harus dibangun dan indikator terwujudnya social capital, ada beberapa hal yang harus diperhatikan.
Pertama, pengertian social capital bersifat multidimensional karena menggabungkan banyak level dan unit analisis yang berbeda. Kedua, bentuk social capital ini tidak tetap, berubah-ubah sepanjang waktu. Ketiga, bentuk social capital bisa berbeda-beda tergantung daerah dan latar belakng budaya masyarakat (Soeharto, 2007). Karena itulah, tidak heran jika bentuk dan indikator terwujudnya social capital diuraikan secara berbeda oleh masing-masing orang. Francis Fukuyama menguraikannya dengan trust, Varshney menjelaskannya dengan social ties.
Dalam perspektif kesejahteraan Sosial, Edi Suharto mengidentifikasi indikator social capital pada level individu, yaitu partisipasi dalam komunitas lokal, proaksi dalam konteks sosial, memiliki tingkat kepercayaan tinggi dan rasa aman, memiliki hubungan kuat dengan tetangga, memelihara hubungan dengan keluarga dan teman, tolern terhadap diversitas. Selain itu, hal-hal lain yang juga mengindikasikan social capital individu adalah 1) menghormati orang lain, identitasnya, keyakinannya, persepsinya, pendapatnya dll; 2) saling pengertian (mutual understanding); 3) resiprositas; 4) kebersamaan yang saling mengikat melampaui batas-batas kelompok; dan 5) keterbukaan terhadap beragam ide.
Kembali pada modal sosial yang dimiliki masyarakat suku di Papua, walaupun sifatnya masih bounded, modal kekompakan dan solidaritas kelompok yang yang mereka miliki, bisa digunakan sebagai pijakan untuk mewujudkan modal sosial yang lebih kuat dan luas, dengan keterikatan yang lebih dalam dan radius dengan rentang yang lebih jauh.

F. PERAN LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN
Dalam hubungannya dengan konflik, khususnya perang suku di Papua, ada beberapa hal yang bisa dilakukan lembaga pendidikan dan pelatihan:


1. Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Penanganan konflik
Penanganan konflik tidak hanya dilakukan ketika konflik itu pecah. Penanganan konflik yang dimaksud adalah penanganan pada semua tahapan-tahapan dalam proses terjadinya konflik sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, yang meliputi pra konflik, saat konflik, dan pasca konflik. Diklat yang diartikan sebagai proses untuk membuat seseorang menguasai berbagai keterampilan dan teknik pelaksanaan kerja tertentu secara terinci dan rutin (Handoko, 1995:104) ini dimaksudkan untuk menyiapkan sumber daya manusia yang a) waspada dan mampu melakukan sesuatu untuk meredam terjadinya konflik pada saat konflik masih laten dan yang tampak adalah anticedant conditions; b) mampu melakukan minimalisasi dampak konflik saat konflik terjadi; c) memiliki inisiatif penyelesaian agar konflik tidak semakin meluas dan dapat mewujudkan kedamaian baik di antara masyarakat yang berkonflik, maupun masyarakat lain yang berhubungan dengan masyarakat yang berkonflik, d) memiliki sikap, sifat dan norma yang mendukung terwujudnya modal sosial dalam masyarakat.
Di sinilah pendidikan dan pelatihan akan memberikan bantuan mewujudkan kedamaian dan kesejahteraan pada masa yang akan datang dengan jalan pengembangan pola pikir dan bertindak, terampil berpengetahuan dan mempunyai sikap serta pengertian yang tepat untuk bukan hanya melakukan tugasnya tetapi juga menularkan pola pikir, sikap, pengetahuan dan pengertian tersebut kepada masyarakat di sekelilingnya.
2. Penanaman Modal Sosial Dalam Setiap Pendidikan dan Pelatihan (Diklat), khususnya yang diikuti oleh peserta yang berada di wilayah rawan konflik.
Diklat berbasis kompetensi bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan juga sikap/attitude. Peningkatan pengetahuan dan keterampilan seringkali menjadi target utama dari proses pembelajaran. Hal ini tidak lepas dari kenyataan bahwa pengetahuan dan keterampilan merupakan elemen yang lebih mudah untuk dideteksi keberhasilannya setelah diklat dilakukan, daripada faktor “attitude”. Padahal, attitude ini merupakan landasan bertindak dan implementasi dari pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh oleh peserta. Tanpa attitude, pengetahuan dan keterampilan bisa disalahgunakan atau bahkan tidak digunakan karena tidak adanya tanggung jawab moral terhadap apa yang sudah diperoleh dari proses diklat.
Pembentukan attitude ini berkaitan erat dengan dengan pembangunan modal sosial pada level individu. Dalam pembentukan attitude inilah norma-norma dan nilai-nilai yang menjadi modal sosial bagi masyarakat yang damai dan sejahtera ditanamkan, seperti membangun kepercayaan, simpati, ketulusan, keterbukaan dll. Upaya pembentukan modal sosial ini bisa dilakukan melalui materi tersendiri maupun melalui metode yang digunakan selama proses pelatihan yang mendukung terbentuknya nilai dan norma tersebut.
Upaya pembentukan modal sosial melalui pemberian materi antara lain bisa dilakukan dengan memberikan materi yang berhubungan dengan konsep hubungan manusia dengan manusia dan manusia dengan Tuhannya untuk membangun sisi spiritual dalam kerangka pluralism, materi untuk menambah wawasan peserta mengenai pentingnya perdamaian dan kerjasama dalam keragaman, serta materi yang berhubungan dengan pengembangan modal sosial individu dan masyarakat.
Pembentukan modal sosial melalui metode yang digunakan dalam proses diklat bisa dilakukan dengan cara melatih penerapan nilai dan norma pembentuk modal sosial dalam proses pembelajaran. Sebagai contoh, dalam metode diskusi, widyaiswara bisa menanamkan dan melatih nilai keterbukaan terhadap keragaman ide, saling menghormati, dan kerjasama antara peserta sebagai satu kelompok dengan memberikan penekanan pada tujuan bersama, yaitu belajar. Bagaimana seorang widyaiswara mengelola perdebatan antara peserta juga menjadi proses pembelajaran bagaimana seseorang mengelola konflik yang ada dalam kehidupan dan masyarakat disekitarnya. Dalam contoh ini yang terjadi adalah proses pembelajaran melalui proses “inspiring”. Karena seseorang memiliki kecenderungan untuk meniru apa yang mereka liat dan yang mereka anggap baik.

G. PENUTUP
Keragaman dan Konflik merupakan bagian dari kehidupan masyarakat papua, dan Indonesia pada umumnya. Pengelolaan yang baik terhadap keragaman dan konflik yang ada akan menjadi sebuah kekuatan dan keunikan bagi bangsa Indonesia untuk mencapai kedamaian dan kesejahteraan. Seluruh elemen bangsa bisa memberikan kontribusinya dalam upaya tersebut dengan membentuk modal sosial yang kuat. Balai Besar pendidikan dan pelatihan kesejahteraan Sosial Jayapura pun hendaknya memberikan sumbangsih nya sesuai dengan kapasitas dan kemampuan dalam ranah pendidikan dan pelatihan.




DAFTAR PUSTAKA
Antaranews.com, 25 November 2010
Assolokobal, Jemius. 2007. Tradisi perang Suku Orang dani (Semangat Perang Semangat Pengembangan ekonomi Balim). Yogyakarta: Pusat Studi Sejarah Indonesial, LPPM Universitas Sanata Dharma
Badan Pelatihan dan Pengembangan Sosial departemen sosial RI, Isu-Isu Tematik pembangunan Sosial: Konsepsi dan Strategi, Seri IT: 02, Jakarta
Djohan, Robby. 2008. Lead to Togetherness. Jakarta: Fund Asia Education
http://docs.google.com/viewer?a=v&q=cache:3kbt3yUYy70J:surwandono.staff.umy.ac.id/page/files/2010/07/DISKURSUS-TEORETISASI-, 20 nov 2010
http://jurnal-sdm.blogspot.com/2010/04/manajemen-konflik-definisi-ciri-sumber.html, 25 November 2010
lintasberita.com. 25 November 2010
Pringondigdo, A.G, Prof. Dr. (Red), Ensiklopedia Umum, (Yogyakarta: Kanisius, 1973).
Suharto, Edi (ed.). 2004. Isu-Isu Tematik pembangunan Sosial: Konsepsi dan Strategi, Seri IT: 01. Jakarta: Badan Pelatihan dan Pengembangan Sosial departemen sosial RI
Suharto, Edi (ed.). 2005. Membangun Masyarakat Memberdayakan rakyat. Bandung: PT refika Aditama
Tumanggor, Rusmin. Jaenal Aripin, dan Imam Soeyoeti. Dinamika Konflik etnis dan Agama di Lima Wilayah Konflik Indonesia. http://www.depsos.go.id/Balatbang/Puslitbang%20UKS/PDF/rusmin.pdf
Wikipedia.org, 8 Desember 2010

Siti Rohmanatin Fitriani, MA
*Penulis adalah Widyaiswara BBPPKS Jayapura

Tidak ada komentar:

Posting Komentar