Senin, 16 Mei 2011

ANAK TERLANTAR PAPUA

Oleh: Siti Rohmanatin Fitriani

Anak terlantar merupakan salah satu permasalahan sosial yang membutuhkan penanganan serius dan dan komprehensif untuk mengatasinya. Hal ini tidak lepas dari kenyataan bahwa jumlah anak terlantar dari tahun ke tahun semakin meningkat. Peningkatan jumlah anak terlantar ini tidak sejalan dengan angka memiskinan yang dari tahun ke tahun dilaporkan menurun. Padahal, kemiskinan dianggap sebagai salah satu alasan utama anak menjadi terlantar.
Secara statistik dilaporkan bahwa pada tahun 2000, anak terlantar berjumlah 5,3 persen dari keseluruhan populasi anak usia 0-18 tahun. Jumlah ini menjadi 5,4 persen pada 2003, dan menjadi 6,5 persen pada 2006. (MediaIndonesia.com). Pada tahun 2010, diperkirakan sekitar 17 juta anak masuk dalam kategori telantar dan hampir telantar yang belum tertangani secara maksimal. Direktur Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial, Kementerian Sosial, Makmur Sunusi mengatakan anak yang mengalami kasus keterlantaran (anak terlantar) tercatat sebanyak 5.406.400 jiwa atau 6,76 persen dari total jumlah anak. Sedangkan anak hampir terlantar 12.287.600 jiwa atau 15,38 persen. Sehingga total anak terlantar dan hampir terlantar mencapai 17.694.000 atau 22,14 persen. (Harian Seputar Indonesia, 28 Januari 2010)
Dari 5,4 juta anak terlantar tersebut, sebanyak 232 ribu di antaranya merupakan anak jalanan yang terbagi atas tiga kelompok; yang pertama adalah kelompok anak-anak yang seluruh hidupnya di jalan; Kedua adalah kelompok anak yang kurang lebih 4-5 jam di jalanan; Ketiga adalah kelompok anak yang mendekati jalanan. (Berita Lampung.com)
Berdasarkan data dari Direktorat Pelayanan Sosial Anak Kementerian Sosial, dinyatakan bahwa analisis deskriptif terhadap data BPS (Biro Pusat Statistik) tahun 2006 menunjukkan bahwa 83,28 persen anak terlantar punya orang tua lengkap; 12,38 persen yatim; 2,55 persen piatu; 1,07 persen yatim piatu dan sisanya tidak diketahui. Ada kecenderungan orang tua melepaskan tanggung jawab pengasuhan atas anak mereka ketika beban ekonomi menghimpit. Hal ini terlihat pula dari hasil survei yang menunjukkan sebagian besar penghuni panti sosial masih punya orang tua lengkap (MediaIndonesia.com). Penelitian tentang panti juga menunjukkan bahwa anak-anak yang tinggal di panti masih memiliki orang tua. Salah satunya adalah penelitian Save The Children, Unicef dan Departemen Sosial tahun 2008 (Depsos.go.id)
Papua merupakan salah satu provinsi di mana kasus-kasus anak dan lansia terlantar banyak terjadi (DetikNews.com, 20/4/2010). Menurut data Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial (BBPPKS) Jayapura, ada 200 anak terlantar di Kota Jayapura dan 352 di kabupaten Jayapura. Bayi terlantar di Papua dan Papua Barat mencapai 24.762 jiwa (BBPPKS Jayapura, 200). dari kajian tahun 2010 mengenai anak terlantar, didapati bahwa jumlah anak terlantar di kota jayapura memang belum terdata secara definitif. tapi dapat dipastikan jumlahnya diu atas 200 anak. belum definitif data anak terlantar ini disebabakan beberapa hal, diantaranya:
1) Anak-anak terlantar sering berpindah tempat
2) anak terlantar,hususnya di Jayapura, sifatnya musiman dan berpindah-pindah
3) Anak terlantar tidak menetap dalam satu tempat tinggal sehingga sulit mendatanya (terpencar-pencar)
Sebagaimana kondisi anak terlantar pada level nasional, jumlah anak terlantar di Papua setiap tahun mengalami peningkatan. Data di Dinas Kesejahteraan Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Merauke menunjukkan bahwa jumlah anak terlantar yang berada di kota Merauke dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Data yang berhasil dihimpun oleh Dinas Sosial menyatakan bahwa saat ini di kota Merauke jumlah anak terlantar mencapai ratusan anak (tabloidjubi.com). Anak-anak terlantar sendiri sebetulnya masih mempunyai orang tua dan tempat tinggal, tetapi desakan ekonomi dan kurangnya perhatian dari orang tua membuat anak-anak tersebut mencari uang untuk hidupnya sendiri. Ironisnya yang menjadi anak terlantar adalah anak-anak yang masih dibawa umur.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 tahun 2003 tentang Perlindungan Anak, yang disebut anak terlantar adalah anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial (Pasal 1 ayat 6). Kebutuhan fisik anak antara lain adalah kebutuhan sandang, pangan, papan, juga kesehatan. Kebutuhan mental meliputi kebutuhan akan kasih sayang, perhatian, keamanan, dan juga pendidikan. Kebutuhan spiritual menyangkut masalah keagamaan dan keyakinan. Kebutuhan sosial merupakan kebutuhan untuk melakukan interaksi dan komunikasi dengan anak/orang lain. Kebutuhan anak-anak tersebut merupakan hak anak yang harus dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, dan Pemerintah.
Walaupun definisi anak terlantar secara umum sama, karena mengacu pada Undang-Undang, karakteristik anak terlantar dan kebutuhannya di setiap daerah tentunya tidak sama persis. Hal ini tidak lepas dari kondisi sosial, ekonomi, budaya, serta kondisi geografis di mana anak tersebut berada. Perbedaan dan karakteristik dan kebutuhan anak-anak terlantar ini tentunya berimplikasi pada model penanganannya, yang salah satu bentuknya adalah pendampingan sosial anak terlantar.

Penulis adalah Widyaiswara BBPPKS Jayapura

1 komentar:

  1. thanks buat tulisannya, tambahan referensi buat laporan pemantauan saya nih. :)

    BalasHapus